Dinamika desain grafis/komunikasi visual selalu terkait erat dengan perkembangan teknologi. Apabila kita menengok ke belakang, ketika teknologi informasi mulai menguasai dunia di pertengahan 90-an, di Indonesia terjadi ‘penggusuran’ besar-besaran terhadap desainer manual. Profesi seperti paste-up artist, tukang setting, tukang stensil, digantikan oleh desainer pengguna komputer. Saat itulah masuknya arus besar Revolusi Industri 3.0.
Sekitar tahun 2010-an, aktivitas desain grafis instan makin marak. Penggunaan desain siap pakai, seperti template, mock-up, clipart menggantikan desain yang dimulai dari nol dan riset yang dianggap mahal dan bertele-tele. Akibatnya desain makin tidak dipandang sebagai proses mencari solusi, melainkan hanya sekedar make-up/dekorasi.
Dengan cara berpikir semacam itu, mulailah bermunculan kelompok-kelompok desainer di kampung. Para petani, buruh pabrik, kuli bangunan kini beralih profesi menjadi desainer kontes-kontes desain di internet. Bagaimana tidak alih profesi? Upah buruh yang sebelumnya Rp.450.000,- perbulan, setelah menjadi desainer kontes bisa naik menjadi Rp.20.000.000,- perbulan, apabila sering menang kontes.
Fenomena di atas merupakan beberapa manifestasi dari Revolusi Industri 4.0 di bidang desain grafis di Indonesia. Dalam konteks desain yang telah bergeser ini, siapapun bisa menjadi desainer. Bahkan teknologi perangkat genggam dan aplikasinya sekarang sangat memungkinkan kita untuk mendesain kapanpun dan di manapun melalui puluhan apps desain instan yang siap diunduh dan digunakan secara gratis!
Dalam surat kabar Kompas 3 Mei 2017 mengenai dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap bidang-bidang profesi, diprediksi pekerjaan desainer grafis/komunikasi visual akan tetap ada. Prediksi tersebut mungkin benar, namun substansi desain dan pelakunya di masa depan makin berubah. Berikut ini adalah beberapa prakiraan para ahli mengenai pengaruh Revolusi Industri 4.0 terhadap bidang Desain Grafis/Desain Komunikasi Visual:
– Semua peralatan kerja akan saling terhubung di internet (IoT/Internet of Things), dan kecerdasan buatan (AI/Artificial Intelligence) ditanamkan di dalamnya. Rob Girling (konsultan desain Artefact) memperkirakan: software/apps desain grafis akan membuatkan ratusan alternatif layout/logo dalam seketika, pengguna tinggal menyediakan teks dan gambarnya saja.
– Karena pekerjaan mendesain makin dipermudah, maka bisa dilakukan oleh siapapun. Imbasnya, menurut Duane Bray dari Ideo: kelak posisi desainer tidak harus dipegang oleh yang berlatar belakang desain, yang penting berpikiran terbuka dan punya niat belajar tinggi.
– Pencetakan tiga dimensi (3D printing), robotik, VR/Virtual Reality, AR/Augmented Reality akan menjadi hal yang umum. Menurut John Maeda (desainer dan teknolog): desainer akan terbagi menjadi dua jenis, yaitu Desainer Klasik, contohnya Desainer Grafis, Desainer Interior, dan Desainer Komputasional (computational designer), yaitu mereka yang berkecimpung dengan kode dan program. Desainer komputasional ini bersifat hybrid (kombinasi), bisa mengerjakan desain klasik, juga akrab dengan teknologi. Kepala jurusan Integrated Design Universitas Texas, Doreen Lorenzo bahkan memperkirakan peran Desainer Klasik akan segera mati dan digantikan oleh kecerdasan buatan, di masa depan semua desainer akan menjadi hybrid.
– Lama-kelamaan desain bukan lagi sebuah bidang yang berdiri sendiri, keberadaannya makin lama makin tidak kentara karena ia melebur dengan bisnis, teknologi, pendidikan, dan disiplin lainnya. Batasan antara area desain dan yang lainnya akan semakin kabur. Menurut Cees de Bont (Dekan School of Design, Universitas Politeknik Hong Kong): di tengah kondisi seperti itu desainer perlu memperluas pengetahuan akan bidang-bidang di luar desain, serta keterampilannya dalam hal teknologi, komunikasi dan bisnis.
Kebutuhan akan digital IT sangat dibutuhkan dalam kegiatan sehari-hari, Bead IT Consultant merupakan pilihan tepat sebagai partner anda,kunjungi website kami dengan klik link ini : www.beadgrup.com